Jumat, 07 November 2014

Cerita di balik porsi nasi padang, makan di tempat & dibungkus

Berbicara mengenai rumah makan padang, biasanya yang di ingat menunya yang memicu kolestrol naik namun juga memicu selera makan. Tak diragukan lagi, rumah makan padang menjadi salah satu favorit yang dikunjungi untuk memenuhi hasrat perut. Salah satu lauknya, rendang pun dinobatkan sebagai makanan favorite dunia. Nikmatnyo.

Tapi, lupakan persoalan itu dulu. Pernahkah bertanya dan memperhatikan porsi nasi putih yang diberikan rumah makan padang berbeda saat makan di tempat dengan dibungkus. Porsi nasi Padang yang dibungkus jauh lebih banyak daripada makan di tempat.

Saat mendaratkan kaki di rumah makan atau restoran padang dan memutuskan untuk makan di sana tanpa membawa pulang, biasanya disuguhi setangkup nasi putih yang ditaburi lauk yang dipilih. Biasanya, porsi nasinya sedikit, hanya satu centong batok berukuran kecil. Barangkali, ucapan 'Tambuah ciek,' sering diteriakan kepada pelayan yang nantinya pelayan akan memberikan satu porsi kecil nasi di atas piring kecil disiram kuah gulai.

Namun, saat memutuskan untuk membeli nasi padang 'take away' atau dibungkus, biasanya porsi nasinya dua centong batok atau lebih. Ini jauh lebih banyak dari pada makan di tempat.

Pernahkah bertanya mengenai masalah ini?

Menurut Adrival (18), mahasiswa Universitas Andalas, yang diketahuinya dari cerita salah satu pemilik rumah makan di kota Padang, persoalan ini memiliki sejarah sendiri. Dulu, saat zaman Belanda yang dapat menikmati masakan padang di rumah makan padang adalah orang-orang elite. Seperti Saudagar kaya dan kolonial Belanda. Mereka itu biasanya yang meramaikan rumah makan padang dahulunya.

Namun, pemilik rumah makan padang ingin orang-orang pribumi dapat menikmati juga masakan daerahnya sendiri. Maka, diakalilah dengan cara di bungkus. Orang-orang pribumi dapat menikmati masakan daerah sendiri dengan cara tidak makan di tempat. Porsi nasinya pun dibanyakin agar orang pribumi bisa berbagi dengan lainnya.

"Jadi membeli satu bungkus nasi bisa dimakan untuk dua orang," cerita Adrival saat dihubungi merdeka.com, Rabu (7/5).

Adrival pun menambahkan, kalau dulunya rumah makan padang juga dikenal dengan rumah makan Ampera. Nama Ampera sendiri berasal dari Amanat Penderitaan Rakyat.

"Makanya kalau di sini (Padang), rumah makan yang disebut Ampera jauh lebih murah dari rumah makan biasa," lanjutnya.

Namun menurut sastrawan asal Padang, Yusrizal ini persoalan biaya pelayanan. Jika makan di tempat, orang-orang mendapat pelayanan lebih dari pada yang dibawa pulang atau di bungkus. Dia menyebutkan, di kota Padang membeli makanan apapun kalau di bawa pulang memang jauh lebih banyak porsinya dibanding makan di tempat.

"Contohnya kalau beli soto, nasi dan kuah soto lebih banyak kalau di bawa pulang." ujarnya kepada merdeka.com.

Lain lagi pendapat Eka, warga asal Pariaman menyebutkan bahwa persoalan porsi ini terkait biaya sabun cuci dan upah mencuci piring. "Makanya, makan di tempat porsinya lebih sedikit," tambah Eka.

Sementara pemilik salah satu rumah makan padang kawasan Kedoya, Dedi (36) mengatakan, bahwa persoalan porsi ini sudah turun menurun dan sekedar budaya. Dirinya hanya mengikuti saja.





Source : Merdeka.com

Tidak ada komentar: