Senin, 27 Agustus 2012

Social Customer

Social customer adalah konsumen jenis baru (lebih tepatnya saya sebut, “mutan” baru) yang muncul menyusul terjadinya dua revolusi: (1) revolusi konsumen kelas menengah, yes Consumer 3000. (2) revolusi media sosial.
Konsumen baru ini memiliki dua ciri dan dua senjata. Ciri pertama mereka knowledgeable: tahu mendalam informasi apapun mengenai produk dan layanan yang hendak dibeli (thanks to mbah Google). Ciri kedua mereka terkoneksi (socially connected) dengan konsumen lain secara intens (thanks to social media). Kombinasi konsumen yang smart dan terkoneksi satu sama lain menghasilkan sosok konsumen yang sangat powerful dan disegani (baca: ditakuti) oleh setiap brand
Senjata Pamungkas
Social customer juga memiliki dua senjata pamungkas. Senjata pamungkas pertama adalah komunitas yang mereka bentuk baik offline maupun online (di Facebook, di Twitter, di blog, di Instagram, di forum-forum online seperti Kaskus, di BBM group, di arisan-arisan, dll.). Senjata pamungkas kedua adalah social media tools (mention dan retweet di Twitter, status updates dan wall di Facebook, article posting dan comments di blog, video upload di YouTube, dll.) yang memungkinkan mereka menyebarkan berita baik maupun buruk mengenai brand kepada konsumen lain (yes, 3F: followers, friends, fans).
Kenapa saya sebut senjata? Ya, karena dua hal tersebut yang memungkinkan konsumen baru ini memiliki posisi tawar yang luar biasa kuat dalam berhadapan dengan brand. Dua senjata itu yang memungkinkan brand tak bisa lagi bohong seenaknya, tak bisa lagi over promise under deliver, dan tak bisa lagi membentuk citra yang tak sesuai aslinya. Senjata itu mereka gunakan untuk memaksa brand menjadi pemain yang jujur, arif, dan bijaksana.
Dengan senjata komunitas dan social media tools, maka social customer begitu mudah membangun opini dan kemudian menyebarkan opini tersebut ke konsumen lain secara massif dalam sekejap. Kalau opininya bagus maka tentu saja itu merupakan berkah bagi brand. Tapi sebaliknya jika opininya jelek maka itu merupakan malapetaka bagi brand. Intinya, dengan dua senjata itu brand tidak bisa lagi semena-mena menindas konsumen.
Powerful Customer
Dalam buku saya CROWD: Marketing Becomes Horizontal (2008), saya merumuskan dua senjata ampuh ini dalam sebuah formula sederhana E = WmC2. E adalah energi marketing yang luar biasa. Wm adalah word of mouth atau promosi dari mulut ke mulut. Sedangkan C2 adalah komunitas baik offline maupun online.
Melalui formula tersebut intinya saya ingin mengatakan bahwa energi yang luar biasa akan muncul jika konsumen dibekali dua “senjata pamungkas” yaitu komunitas dan tools yang memungkinkan mereka menyebarkan promosi dari mulut ke mulut. Nah, kehadiran media sosial memungkinkan formula tersebut diwujudkan. Dan dampaknya, kini konsumen memiliki power yang luar bisa dan tak terbayangkan sebelumnya.
Biar gampang, saya akan mengambil kasus aktual Klinik Tong Fang yang secara pas menggambarkan begitu powerful-nya social customer ini. Mari kita lihat.
Tidak Authentic
Saya melihat kasus bad mouth (word of mouth bersentimen negatif) Klinik Tong Fang adalah bentuk kejengkelan dari social customers terhadap praktek vertical promotion (promosi yang dikendalikan oleh rejim media vertikal seperti TV, radio, atau surat kabar) yang tidak authentic dan sarat dengan aroma rekayasa.
Kenapa tidak authentic dan sarat rekayasa? Karena talent dalam iklan tersebut mengungkapkan testimoninya bukan berdasarkan pengalaman (past experience) menggunakan jasa klinik tersebut, tapi berdasarkan naskah yang telah disusun sedemikian indah dan rapi (baca: direkayasa) oleh si copy writer. Rekayasa ini demikian kasat mata, ketika naskah dibikin monoton dan seragam untuk talent yang berbeda.
Modus operandi iklan testimoni dengan rekayasa seperti ini merupakan hal yang biasa dalam periklanan kita selama ini, karena rejim media vertikal memang memungkinkannya. Dan celakanya, konsumen tak bisa berbuat apa-apa kerena tak punya saluran untuk “melawan”-nya. Ketika social media tools seperti Facebook, Twitter, YouTube, atau blog tersedia, maka kini mereka pun punya saluran untuk mendobraknya.
Hukuman
Iklan-iklan yang tidak authentic dan sarat rekayasa menimbulkan kemuakan di kalangan social customers. Kemuakan tersebut berakumulasi, memuncak, dan kemudian ditumpahkan dalam bentuk “hukuman”. Dalam kasus Klinik Tong Fang hukuman tersebut diwujudkan dalam bentuk sentimen negatif kepada brand. Sentimen negatif yang diungkapkan dalam bentuk guyonan ringan tersebut kemudian ditiupkan melalui komunitas dan social media tools di Facebook, Twitter, YouTube atau blog.
Seperti saya ungkapkan di depan, formula E = WmC2 bekerja begitu sempurna dan dalam ukuran detik bad mouth mengenai Klinik Tong Fang menyebar seperti layaknya wabah kolera. Awalnya sentimen negatif tersebut diinkubasi di dalam komunitas-komunitas online dan kemudian disebarkan melalui social media tools (tweet, retweet, mention di Twitter; status update dan wall post di Facebook; article posting di blog, dsb.) secara cepat.
Ada dua pelajaran penting dari kasus bad mouth Klinik Tong Fang. Pertama bahwa kini social customer bisa gampang marah begitu brand melakukan sesuatu yang tak berkenan di hati mereka. Kedua, bahwa kini mereka punya senjata pamungkas untuk “menghukum” brand manapun yang berlaku tidak jujur dan tidak adil kepada mereka.
Ingat satu hal ini: kasus Klinik Tong Fan adalah tips of the iceberg dari “kemarahan” social customers terhadap praktek promosi vertikal yang tidak authentic dan sarat rekayasa. Saya meramalkan ke depan kasus yang sama bakal lebih sering terjadi dan dengan scope dan ukuran yang jauh lebih besar.
Kini saatnya berhati-hati melakukan promosi vertikal.

Source : 

Tidak ada komentar: