Berbicara mengenai rumah makan padang, biasanya yang di ingat menunya
yang memicu kolestrol naik namun juga memicu selera makan. Tak diragukan
lagi, rumah makan padang menjadi salah satu favorit yang dikunjungi
untuk memenuhi hasrat perut. Salah satu lauknya, rendang pun dinobatkan
sebagai makanan favorite dunia. Nikmatnyo.
Tapi, lupakan
persoalan itu dulu. Pernahkah bertanya dan memperhatikan porsi nasi
putih yang diberikan rumah makan padang berbeda saat makan di tempat
dengan dibungkus. Porsi nasi Padang yang dibungkus jauh lebih banyak
daripada makan di tempat.
Saat mendaratkan kaki di rumah makan
atau restoran padang dan memutuskan untuk makan di sana tanpa membawa
pulang, biasanya disuguhi setangkup nasi putih yang ditaburi lauk yang
dipilih. Biasanya, porsi nasinya sedikit, hanya satu centong batok
berukuran kecil. Barangkali, ucapan 'Tambuah ciek,' sering diteriakan
kepada pelayan yang nantinya pelayan akan memberikan satu porsi kecil
nasi di atas piring kecil disiram kuah gulai.
Namun, saat
memutuskan untuk membeli nasi padang 'take away' atau dibungkus,
biasanya porsi nasinya dua centong batok atau lebih. Ini jauh lebih
banyak dari pada makan di tempat.
Pernahkah bertanya mengenai masalah ini?
Menurut
Adrival (18), mahasiswa Universitas Andalas, yang diketahuinya dari
cerita salah satu pemilik rumah makan di kota Padang, persoalan ini
memiliki sejarah sendiri. Dulu, saat zaman Belanda yang dapat menikmati
masakan padang di rumah makan padang adalah orang-orang elite. Seperti
Saudagar kaya dan kolonial Belanda. Mereka itu biasanya yang meramaikan
rumah makan padang dahulunya.
Namun, pemilik rumah makan padang
ingin orang-orang pribumi dapat menikmati juga masakan daerahnya
sendiri. Maka, diakalilah dengan cara di bungkus. Orang-orang pribumi
dapat menikmati masakan daerah sendiri dengan cara tidak makan di
tempat. Porsi nasinya pun dibanyakin agar orang pribumi bisa berbagi
dengan lainnya.
"Jadi membeli satu bungkus nasi bisa dimakan untuk dua orang," cerita Adrival saat dihubungi merdeka.com, Rabu (7/5).
Adrival
pun menambahkan, kalau dulunya rumah makan padang juga dikenal dengan
rumah makan Ampera. Nama Ampera sendiri berasal dari Amanat Penderitaan
Rakyat.
"Makanya kalau di sini (Padang), rumah makan yang disebut Ampera jauh lebih murah dari rumah makan biasa," lanjutnya.
Namun
menurut sastrawan asal Padang, Yusrizal ini persoalan biaya pelayanan.
Jika makan di tempat, orang-orang mendapat pelayanan lebih dari pada
yang dibawa pulang atau di bungkus. Dia menyebutkan, di kota Padang
membeli makanan apapun kalau di bawa pulang memang jauh lebih banyak
porsinya dibanding makan di tempat.
"Contohnya kalau beli soto, nasi dan kuah soto lebih banyak kalau di bawa pulang." ujarnya kepada merdeka.com.
Lain
lagi pendapat Eka, warga asal Pariaman menyebutkan bahwa persoalan
porsi ini terkait biaya sabun cuci dan upah mencuci piring. "Makanya,
makan di tempat porsinya lebih sedikit," tambah Eka.
Sementara
pemilik salah satu rumah makan padang kawasan Kedoya, Dedi (36)
mengatakan, bahwa persoalan porsi ini sudah turun menurun dan sekedar
budaya. Dirinya hanya mengikuti saja.
Source : Merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar