Hingga
akhir abad ke-20 sebenarnya kebanyakan biro iklan masih menjual
Awareness kepada para klien mereka. Seluruh sumberdaya Full Service
Agency yang terhimpun dalam tiga ekspertis utama yaitu Account,
Creative, dan Media ini, atas permintaan klien, diarahkan untuk
menciptakan Awareness setinggi-tingginya bagi para produk atau Brand
klien terkait. (Lihat gambar Ekologi-1).
Tapi tahun 1993
bermunculan Media Buying Agency, biro iklan yang khusus melayani
perencanaan dan pembelian media. Yang mereka tawarkan pun berbeda yaitu
capaian atas target-target ROI dan atau KPI. Bukan hanya itu, tapi juga
tarif dan rabat 'media space/time/bandwidth' yang lebih murah di bawah
label Cost Effectiveness. Tarif dan atau rabat yang mereka tawarkan
kepada para pengiklan begitu menggiurkan, membuat banyak klien Full
Service Agency mengalihkan pembelian media mereka kepada Media Buying
Agency. (Lihat gambar Ekologi-2).
Situasi tersebut membuat
banyak Full Service Agency konvensional', baik yang lokal maupun
multinasional porak poranda. Ini karena umumnya sekitar 80% pendapatan
usaha mereka sebelumnya memang dari pembeiian media. Sebagian dari
mereka kemudian mengambil arah lain, menjadi biro iklan spesies baru
yang disebut Brand Agency. Mereka menawarkan klien mereka kepiawaian
menciptakan dan membangun Brand. Dan yang mereka janjikan pun dikenal
dengan jargon Brand Trust & Advocacy. Ini sebenarnya adalah
pergeseran dari salah satu ekspertis biro iklan Full Service, yaitu
Account Management. Saat itulah lalu dimunculkan istilah Strategic
Planning. Bersamaan dengan itu pula, penggalian dan penerapan model IMC
(Integrated Marketing Communications) pun mendapat dorongan lebih
intensif. (Lihat gambar Ekologi-3).
Tahun berganti tahun,
tekonologi dan automatisasi pun kian mengambil alih sebagian (malah
banyak yang berpendapat bagian besar) dari pekerjaan Segmentation,
Targeting, dan Positioning sesuatu Brand. Layanan yang ditawarkan biro
iklan pun harus bergeser lagi. Ini karena muncul tuntuan lain dari para
pengiklan yang tidak puas dengan memperoleh Brand Turst & Advocacy.
Tuntutan baru para pengiklan adalah Improved Conversion Rate. Maksudnya,
biro-biro iklan harus mampu memperbesar porsi orang yang benar-benar
membeli, bukan yang sekadar berkunjung pada 'situs jualan' Brand
terkait. (Lihat gambar Ekologi-4).
Zaman terus bergulir.
Biro-biro iklan yang sudah tiga kali melakukan adaptasi agar jasa mereka
tetap relevan dan dibutuhkan, harus terus menciptakan "janji baru"
kepada para klien mereka. Tapi meski banyak biro iklan yang belum mapan
dengan situasi itu, kini sudah muncul lagi tuntuan baru. Kali ini klien
bukan lagi menginginkan tingginya Conversion Rate, tapi Bigger Share of
Wallet. Maksudnya, mereka menuntut perolehan yang lebih besar dari
"pangsa belanja" dari para pembelanja bagi produk-produk mereka.
Pengiklan menuntut biro-biro iklan (termasuk Media Buying Agencies)
mampu, secara literal, mendorong konsumen untuk membelanjakan bagian
terbesar dari kuota produk dari isi dompet pembelanja untuk Brand
mereka, bukan Brand-brand para pesaing. Ini berarti, sasaran komunikasi
periklanan seolah-olah bukan lagi khalayak, konsumen, ataupun pelanggan,
tapi dompet pembelanja. Ya, ini laiknya sebuah revolusi bagi ilmu
komunikasi. (Lihat gambar Ekologi-5).
Begitulah dinamika 'ruaaaar
biasa' yang terjadi pada industri periklanan. Pergeseran layanan (baca:
janji) biro iklan atau tuntutan para Pengiklan kepada mereka; Awareness
- ROI/KPI - Trust & Advocacy - Conversion Rate - Share of Wallet,
terjadi hanya dalam waktu sekitar 25 tahun saja. Jadi, jika Anda
praktisi ataupun akademisi periklanan, mari terus bersiaga penuh,
menyimak "revolusi" apa lagi yang akan terjadi di tahun-tahun
mendatang.||
Kumpulan beberapa artikel yang dianggap menarik dari berbagai sumber & semua cerita tentang gue, keluarga dan lingkungan sekitar gue, special for my little angel Abel dan nyong gogos Afel
Kamis, 11 Januari 2018
Delapan Perubahan Besar Branding Yang Wajib Dipahami Advertiser
Era Advertising yang interuptif berangsur berakhir, salah satunya karena posisi tawar audience dalam transaksi informasi semakin tinggi. Demokratisasi informasi menyebabkan audience
memiliki hak lebih untuk menyaring atau menolak informasi, sekaligus
menuntut bahwa informasi yang datang kepada mereka adalah informasi yang
sesuai dengan kebutuhan dan konteks audience. Ada yang menyebut era ini secara provokatif sebagai post advertising era.
Tapi Janoe Arijanto, CEO Dentsu Strat, menyebutnya sebagai peristiwa
transformasi bisnis biasa atau lebih tepatnya, proses redefinisi advertising. Bagaimana advertiser
harus memahami fenomena perubahan besar dalam proses branding di era
disrupsi ini? Berikut wawancara Tim MIX lengkap dengan Janoe Arijanto.
Ini
adalah lompatan besar dari branding tradisional ke branding di era
baru. Tolong tunjukkan perubahan lansekap branding di era baru ini?
Hampir seluruh perubahan besar yang terjadi di proses branding
dipengaruhi oleh perubahan teknologi informasi, yang menyebabkan publik
bisa berpartisipasi lebih dalam proses branding.
Proses branding diposisikan sama secara sosial dengan dengan proses
pengiriman informasi non komersial. Wajar jika proses penyampaian pesan
komersial dituntut untuk seamless, genuine dan menyatu kuat dalam konteks sosial ketika pesan itu diterima oleh audience.
Branding adalah sebuah proses, ketika branding
diterapkan di landsekap konsumen yang sedang berubah, maka proses itu
harus menyesuaikan diri, meninggalkan cara-cara lama dan menerapkan cara
baru untuk merespon kenyataan baru. Beberapa point perubahan penting dalam proses branding tradisional ke branding kontemporer adalah sebagai berikut.
Pertama, berubahnya pengertian konsumen dari khalayak pasif ke khalayak
aktif. Konsumen memiliki kemungkinan merespon dinamika brand secara
langsung bahkan mempengaruhi bagaimana brand itu dikembangkan. Proses branding bahkan tidak mencari dan menggali insight, tapi mendapatkan kiriman dan limpahan insight
yang harus direspon secara langsung dan berbeda-beda. Salah satu kunci
utama dari kenyataan ini adalah bahwa brand tidak hanya bertugas
memperluas konsumen, tapi mencari konsumen sebagai partner aktif yang akan menjadi pendukung brand secara organik. Wajar jika term audience ditransformasikan lebih kuat oleh beberapa brand menjadi community.
Kedua, polarisasi sosial dan crowd culture memaksa
pudarnya titik-titik pusat produksi informasi. Kekuasaan informasi
bukan hanya dipegang oleh brand-brand besar, rezim politik pemilik media
atau para perancang agenda sosial, tapi oleh publik yang terus menerus
memroduksi pesan. Di lansekap seperti ini, brand tidak bisa memaksakan
diri untuk menjadi pusat terus-menerus. Brand musti melakukan kolaborasi
dengan publik, merespon arus informasinya dan mendesain interaksinya
berdasarkan model yang telah berjalan.
Ketiga, perancangan pesan menjadi perancangan conversation.
Model komunikasi ini berlangsung lebih karena kondisi bahwa sudah tidak
dimungkinkan lagi mengirim pesan satu arah dan mengontrol arusnya
secara teratur. Brand tidak bisa lagi mendesain flow yang kaku ketika conversation telah dikirim, karena produksi pesan dan sharing hampir sepenuhnya dikendalikan oleh publik.
Keempat, brand harus mengubah model kampanye dari sekadar mengirim
pesan dan berbicara ke arah ajakan untuk bergerak, berpartisipasi
merasakan pengalaman langsung. Di sinilah fungsi user experience design, tidak sekadar diartikan sebagai antar muka sebuah platform digital, tapi melebar kepada pengamalan langsung yang juga didesain dalam interaksi off line.
Kelima, model komunikasi bertransformasi ke arah yang genuine, seamless, non-interruptive dan menonjolkan otentitas. Cara penulisan dan visualisasi ini dipengaruhi secara kuat oleh crowd culture, yang mendisain cara bertutur yang casual, langsung dan apa adanya. Brand mengadopsi phenomena itu dengan istilah content marketing, native ad atau context based messaging, segala proses komunikasi yang tidak memaksa konsumen untuk memperhatikan sebuah pesan iklan.
Keenam, perancangan touch point, perancangan media berubah menjadi perancangan engagement dan interactivity. Pola media planning
tradisional cenderung berorientasi memasang titik-titik media
komunikasi satu arah, sedangkan pola baru menuntut perancangan desain
interaksi, siklus sharing dan perancangan conversation secara terus menerus.
Ketujuh, orientasi komunikasi bukan sekadar berujung pada transaksi, tapi lebih pada memancing relationship
yang kuat. Jadi, model ini memaksa brand-brand untuk tidak sekadar
berorientasi pada pencapaian target komersial, tapi juga seberapa jauh
sebuah brand bisa menjaga relationship-nya dalam berbagai bentuk interaksi dalam waktu yang berkesinambungan.
Kedelapan, akurasi semakin menjadi faktor penting dalam perancangan komunikasi. Small Data dan Big Data,
memiliki perhatian yang sama pada kepentingan mendapatkan data yang
akurat. Persoalan akurasi adalah persoalan mendapatkan alamat yang
jelas, untuk mengirim pesan yang khusus, bukan hanya pada persoalan
demografis tapi juga pada konteks konsumen paling kecil sekalipun (micro moment). Di sinilah, big data dan automation harus bekerja sama dengan konten kreatif secara intens.
Perkembangan teknologi digital telah mengubah media consumption
di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, perubahan konsumsi media ini
telah mempengaruhi lansekap bisnis media. Bagaimana pendapat Anda?
Perubahan bukan hanya terjadi bagaimana publik mengonsumsi pesan dari
berbagai media, tapi juga bagaimana publik memroduksi pesan dan
menciptakan berbagai macam media. Di sinilah titik perubahan yang
signifikan. Yang terjadi sekarang ini, beberapa media tetap bertahan,
bahkan tetap dominan tapi berubah fungsinya dalam perancangan
komunikasi, lebih karena publik menuntut pelibatan, butuh pola interaksi
untuk memproduksi pesan-pesan.
Ada
kecenderungan kuat, branding tidak berdiri sendiri, tetapi melebur
bersama konten, budaya, dan sebagainya, bagaimana kita memahami situasi
dan memaksimalkan peluang ini?
Era Advertising yang interuptif berangsur berakhir, salah satunya justru karena posisi tawar audience dalam transaksi informasi semakin tinggi. Demokratisasi informasi menyebabkan audience
memiliki hak lebih untuk menyaring atau menolak informasi, sekaligus
menuntut bahwa informasi yang datang kepada mereka adalah informasi yang
sesuai dengan kebutuhan dan konteks audience.
Besarnya arus informasi komersial dalam bentuk iklan, bersaing dengan
informasi non komersial lain, bukan hanya secara frekuensi tapi juga
dalam persoalan kualitas. Di sinilah point penting perubahan, ketika proses branding tidak bisa lagi memaksakan diri untuk “merampok” perhatian publik.
Syarat bahwa iklan harus relevan, sesuai dengan konteks publik,
mengharuskan branding melebur dengan seluruh peristiwa yang sedang
dijalani oleh publik dalam kehidupan sehari hari. Masuk ke dalam
tema-tema sosial, ada diantara agenda-agenda budaya, dan lifestyle, baik dalam bentuk editorial content yang sederhana, maupun dalam pertemuan-pertemuan langsung, antara brand itu sendiri dengan audience.
Bahkan di tahap itu proses Branding
bukanlah melulu persoalan desain komunikasi, tapi juga persoalan
bagaimana produk itu dirancang, dilahirkan, didistribusikan, dinikmati,
dikembangkan dan diceritakan. Produk yang baik, akan bercerita sendiri
secara organik, akan didistribusikan oleh khalayak dalam conversation, cara publik menikmati pun akan menjadi bahan sharing. Di saat itulah proses branding
menemui titik idealnya, bukan hanya dirancang komunikasinya, tapi
justru mengkomunikasikan dirinya sendiri melalui berbagai cerita tentang
produk itu sendiri.
Bagaimana memproduksi content yang kreatif dan inovatif? Benarkah merek sekarang sulit meraih popularitas?
Content Marketing
memiliki bentuk yang beragam, jauh sebelum menyentuh persoalan
kreativitas, perancangan konten harus memenuhi syarat dan benar di
persoalan pesan, design campaign atau content distribution.
Seringkali, para perancang content
berkonsentrasi mencari keunikan dan jalan pintas untuk mendapatkan
perhatian, namun gagal di persoalan membangun pesan yang tepat. Jika ini
terjadi, sebuah program bisa digemari, tapi bisa gagal memenuhi target brand campaign bahkan gagal diidentikan dengan program branding sebuah brand.
Bagaimana pendapat Anda dengan penjelasan kebangkitan crowd culture? Apa kaitannya dengan penjelasan bahwa pada post advertising era, iklan tidak bisa lagi dibuat sekadar untuk placement di media. Kreativitasnya harus kovergen, bisa dieksekusi di berbagai kanal?
Pertama persoalan crowd culture,
phenomena ini terjadi karena publik telah menjadi produsen informasi
dalam skala massif. Mereka bukan hanya memroduksi informasi, tapi juga
menjadi pemilik media dan memiliki massa dalam segmen-segmen yang
beragam.
Tidak ada lagi rezim informasi yang menguasai informasi, yang mengendalikan informasi dan mengarahkan sebuah trend adalah crowd. Brand, bahkan harus merespon dan mengadopsi arus crowd culture ini. Landscape ini, secara cepat mengubah disiplin branding menjadi disiplin yang kompleks dan bergerak secara intens melibatkan massa.
Di saat itu, Advertising melakukan redefinisi, melakukan banyak
perubahan bisnis model, berkonsolidasi dengan disiplin-disiplin lain,
menggunakan teknologi secara intens di waktu yang sama meletakkan
manusia dan konteks sosial secara kuat.
Ada yang menamakan secara provokatif sebagai Post Advertising Era, saya
secara moderat menafsirkan sebagai peristiwa transformasi bisnis yang
menarik untuk diikuti. Justru karena Advertising menemukan interaksinya
yang intens dengan disiplin-disiplin lain. Salah satu kenyataan yang
harus dihadapi advertising adalah kenyataan tentang Crowd Culture.
Dari
gambaran yang ada, kampanye-kampanye pemasaran yang humanistic akan
efektif untuk mencapai tujuan brand, tidak hanya untuk awareness, bahkan
untuk tujuan penjualan. Bagaimana Anda menanggapi hal itu?
Human centric approach akan selalu menjadi acuan utama para pengelola brand. Persoalannya adalah, Human Centric menyaratkan proses yang tidak mudah. Alhasil, yang terjadi adalah Human Centric
sering menjadi jargon, namun banyak yang gagal mempraktekkan, lebih
karena ketidaksabaran mengikuti proses, menganggap pesan yang dibangun
tidak straight forward, keengganan berinvestasi di data-data anthropologis, melihat conversation management sebagai asesoris belaka atau menilai program-program engagement hanya sebagai event sesaat.
Thesis utama Human Centric Approach adalah meletakkan manusia dan kemanusiaan sebagai core value
dalam pengembangan brand. Brand, akan ditempatkan sebagai elemen
sosial, berinteraksi dalam logika sosial, dibicarakan dalam dialog
sosial, disebarkan sebagai konten sosial dan dengan sendirinya akan
masuk dalam relevansi sosial. Brand berkembang secara organik dan
membangun dirinya sendiri dalam logika non-transaksional.
Ketika dipertemukan dengan berbagai macam consumer insights, setiap brand selalu memiliki irisan-irisan kemanusiaan, irisan-irisan itu seringkali berupa insight
paling dalam yang bisa dikembangkan secara positif oleh brand, bukan
hanya untuk tujuan-tujuan marketing sesaat tapi juga untuk memelihara
umur brand dalam jangka waktu yang lama.
Berikan tips atau strategi menciptakan kreativitas Branding Di era media sosial?
Sebuah data yang dirilis pada tengah tahun 2017 tentang bagaimana brand
seharusnya tampil di social media menunjukkan temuan yang menarik.
Publik menganggap sebuah brand adalah sosok manusia yang harus
berinteraksi dalam empat sifat utama: Honest, Friendly, Helpful dan Funny!.
Sebaga sebuah clues, data sederhana itu menunjukkan media sosial adalah ruang besar pergaulan yang menempatkan brand untuk berhubungan secara intens bukan dalam rangka transaksi, tapi dalam kerangka relationship. Dan itu prinsip yang paling utama dalam kampanye di tengah-tengah maraknya crowd culture. *
Source :
by
Dwi Wulandari -
January 11, 2018
Mix Marketing Mags
Langganan:
Postingan (Atom)